Falsafah Kemasyarakatan Batak Dan Sistem Kemasyarakatanya
Masyarakat Suku Batak selain mempunyai sejarah juga ada falsafahnya. Berikut Falsafah Kemasyarakatan Batak Dan Sistem Kemasyarakatanya.
Masyarakat Batak memiliki Falsafah Kemasyarakatan Batak, asas sekaligus sebagai struktur dan sistem dalam kemasyarakatannya yakni yang dalam Bahasa Batak Toba disebut Dalihan na Tolu. Berikut penyebutan Dalihan Natolu menurut keenam puak Batak Dan sebaran suku batak
Berikut Falsafah Kemasyarakatan Batak Dan Sistem Kemasyarakatanya
-
Falsafah Kemasyarakatan Batak – Dalihan Na Tolu (Toba)
Dalihan Na Tolu
Falsafah Kemasyarakatan Batak adalah konsep filosofis atau wawasan sosial-kulturan yang menyangkut masyarakat dan budaya Batak. Dalihan Na Tolu menjadi kerangka yang meliputi hubungan-hubungan kerabat darah dan hubungan perkawinan yang mempertalikan satu kelompok. Dalam adat batak, Dalihan Na Tolu ditentukan dengan adanya tiga kedudukan fungsional sebagai suatu konstruksi sosial yang terdiri dari tiga hal yang menjadi dasar bersama. Ketiga tungku tersebut adalah:
- Somba marhulahula (sikap sembah/hormat kepada keluarga pihak pemberi istri/ibu)
- Elek marboru (sikap membujuk/mengayomi anak perempuan dan pihak yang menerima anak perempuan )
- Manat mardongan tubu (sikap berhati-hati kepada teman semarga)
Latar Belakang
Falsafah Kemasyarakatan Batak Dalihan Na Tolu memiliki arti “tungku yang berkaki tiga”, bukan berkaki empat atau lima. Tungku yang berkaki tiga sangat membutuhkan keseimbangan yang mutlak. Jika satu dari ketiga kaki tersebut rusak, maka tungku tidak dapat digunakan. Kalau kaki lima, jika satu kaki rusak masih dapat digunakan dengan sedikit penyesuaian meletakkan beban, begitu juga dengan tungku berkaki empat. Tetapi untuk tungku berkaki tiga, itu tidak mungkin terjadi.
Inilah yang dipilih leluhur suku Batak sebagai Falsafah Kemasyarakatan Batak hidup dalam tatanan kekerabatan antara sesama yang bersaudara, dengan hulahula dan boru. Perlu keseimbangan yang absolut dalam tatanan hidup antara tiga unsur. Untuk menjaga keseimbangan tersebut kita harus menyadari bahwa semua orang akan pernah menjadi hula-hula, pernah menjadi boru, dan pernah menjadi dongan tubu.
Selain Salam Khas Batak, Falsafah Kemasyarakatan Batak Dalihan Na Tolu menjadi kerangka hubungan tripartit yang meliputi hubungan-hubungan kerabat darah dan hubungan perkawinan yang mempertalikan satu kelompok. Dalam adat Batak, Dalihan Na Tolu ditentukan dengan adanya tiga kedudukan fungsional sebagai suatu konstruksi sosial yang terdiri dari tiga hal yang menjadi dasar bersama, ketiga hal tersebut ialah sebagai berikut.
- Somba marhulahula Ada yang menafsirkan pemahaman ini menjadi “menyembah hul-hula, namun ini tidak tepat. Memang benar kata Somba, yang tekananya pada som berarti menyembah, akan tetapi kata Somba di sini tekananya ba yang adalah kata sifat dan berarti hormat. Sehingga Somba marhula-hula berarti hormat kepada Hula-hula. Hula-hula adalah kelompok marga istri, mulai dari istri kita, kelompok marga ibu(istri bapak), kelompok marga istri ompung, dan beberapa generasi; kelompok marga istri anak, kelompok marga istri cucu, kelompok marga istri saudara dan seterusnya dari kelompok dongan tubu. Hula-hula ditengarai sebagai sumber berkat. Hulahula sebagai sumber hagabeon/keturunan. Keturunan diperoleh dari seorang istri yang berasal dari hulahula. Tanpa hulahula tidak ada istri, tanpa istri tidak ada keturunan.
- Elek marboru Ini berarti rasa sayang yang tidak disertai maksud tersembunyi dan pamrih. Boru adalah anak perempuan kita, atau kelompok marga yang mengambil istri dari anak kita (anak perempuan kita). Sikap lemah lembut terhadap boru perlu, karena dulu borulah yang dapat diharapkan membantu mengerjakan sawah di ladang. Tanpa boru, mengadakan pesta suatu hal yang tidak mungkin dilakukan.
- Manat mardongan tubu/sabutuha Ini berarti suatu sikap berhati-hati terhadap sesama marga untuk mencegah salah paham dalam pelaksanaan acara adat. Hati–hati dengan teman semarga. Orang tua-tua berkata, “hau na jonok do na boi marsiogoson,” yang berarti kayu yang dekatlah yang dapat bergesekan. Ini menggambarkan bahwa begitu dekat dan seringnya hubungan terjadi, hingga dimungkinkan terjadi konflik, konflik kepentingan, kedudukan, dan lain-lain.
Lembaga Adat
Pada daerah Tapanuli, terdapat Perda No. 10 tahun 1990 tentang Lembaga Adat Dalihan Na Tolu, yaitu suatu lembaga adat yang dibentuk Pemda Tingkat II, sebagai lembaga musyawarah yang mengikutsertakan para penatua adat yang benar-benar memahami, menguasai dan menghayati adat istiadat di lingkungannya. (Pasal 5 dan 8).
Lembaga ini memiliki tugas untuk melaksanakan berbagai usaha/kegiatan dalam rangka menggali, memelihara, melestarikan dan mengembangkan kebudayaan daerah termasuk di dalamnya adat-istiadat dan kesenian untuk tujuan pembangunan dan sifatnya konsultatif terhadap pemerintah. (Pasal 6). Lembaga Dalihan Na Tolu adalah lembaga permusyawaratan/pemufakatan adat Batak yang dibentuk berdasarkan peranan adat istiadat, kebudayaan, kesenian daerah, gotong royong dan kekeluargaan (Pasal 1h). Lembaga ini berkedudukan di desa, kelurahan, kecamatan, dan kabupaten (Pasal 5 dan 7).
Keanggotaan dan kepengurusan Lembaga Adat Dalihan Na Tolu adalah para Penatua Adat yang benar memahami, menguasai dan menghayati adat istiadat. Selain itu, jelas bahwa anggota dan pengurus harus setia dan taat kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
-
Falsafah Kemasyarakatan Batak – Dalian Na Tolu (Mandailing Dan Angkolo)
Falsafah Kemasyarakatan Batak Hubungan kekerabatan antar individu dalam masyarakat Mandailing tercermin dalam konsep Dalihan Na Tolu. Segala aktivitas sosial budaya indovidu tidak dapat dipisahkan dari ikatan kekerabatan ini. Konsep ini diyakini asli kreasi nenek moyang Mandailing karena tidak ditemukan padanannya dalam budaya manapun.
Mereka meyakini bahwa konsep Dalihan na Tolu dapat membentuk suatu sistem kemasyarakatan yang ideal. Masyarakat yang ideal menurut Mandailing adalah massayarakat yang di dalam interaksi sosialnya ditemukan holong (kasih sayang). Holong dijadikan sumber semua kehidupan. Karena itu ada istilah dalam Mandailing: holong do mula ni ugari (kasih sayang awal dari adat), atau holong do maroban domu, domu maroban parsaulian (kasih sayang membawa keakraban, keakraban membawa kebaikan bersama)
Konsep Falsafah Kemasyarakatan Batak Dalihan na Tolu seperti sebuah segitiga sama sisi. Masing-masing sisi terdiri dari: Mora (pemberi anak gadis), Kahanggi (kerabat satu marga), dan Anak Boru (penerima anak gadis). Setiap orang secara abstrak memolakan diri mereka dalam segitiga itu. Hak dan kewajiban seseorang ditentukan oleh posisinya dalam pola itu. Tetapi sewaktu-waktu posisi itu dapat berubah karena terjadinya perkawinan.
Hubungan masing-masing unsur di dalamnya diatur melalui norma atau etika yang disebut apantunon (adab). Apantunon diyakini mampu menciptakan hidup yang beradab. Karena itu ada istilah pantun hangoluan, teas hamatean. Artinya, dengan beradab kita bisa hidup, kalau tak beradab kita akan binasa. Sejarah Orang Batak
Falsafah Kemasyarakatan Batak Anak boru memiliki kewajiban terhadap moranya dengan istilah:
(1) sitamba na urang siorus na lobi (si penambah yang kurang si pengurang yang lebih).
(2) na manorjak tu pudi juljul tu jolo (yang menerjang ke belakang menonjol ke depan). Maksudnya, adanya kewajiban anak boru untuk memuliakan moranya.
(3) si tastas nambur, artinya pihak anak boru berkewajiban sebagai perintis jalan (barisan terdepan) untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapi pihak mora.
Mora berkewajiban kepada anak-borunya dalam istilah elek mar anakboru. Maksudnya, senantiasa menyayangi pihak anak boru.
Falsafah Kemasyarakatan Batak Selain itu, juga dikenal kelompok kekerabatan tambahan, yakni:
(1) Mora ni Mora, yaitu kelompok mora dari mora
(2) Pisang Raut, yaitu kelompok anak boru dari anak boru
(3) Kahanggi pareban, yaitu kerabat dari beberapa keluarga batih yang berlainan marga, tetapi sama-sama menjadi anak boru dari satu keluarga yang bermarga tertentu.
(4) Koum Sisolkot. Koum merupakan kekerabatan yang terbentuk karena hubungan perkawinan. Sisolkot kekerabatan merujuk kepada adanya pertalian darah. Koum meliputi anggota yang lebih banyak.
Dalam adat mandailing Falsafah Kemasyarakatan Batak kekerabatan yang diikat oleh Dalihan Na Tolu membentuk satu ikatan rasa sahancit sahasonangan dan sasiluluton sasiriaon. Artinya, sakit senang dirasakan bersama. Karenanya dalam menyikapi berbagai persoalan yang mereka hadapi, orang Mandailing dituntut untuk sahata saoloan satumtum sapartahian. Maksudnya, seia sekata menyatu dalam mufakat untuk sepakat. Juga dikenal istilah mate mangolu sapartahian, atau hidup dan mati dalam mufakat untuk sepakat.
Agar setiap individu mengatahui hak dan kewajibannya dalam relasi kekerabatan Dalihan na Tolu, maka diciptakanlah partuturon. Dengan begitu, pada tutur melekat hak dan kewajibannya pada orang lain. Misalnya, seseorang yang dipanggil mamak, berarti padanya melekat hak dan kewajiban sebagai mora, dan orang yang memanggilnya melekat hak dan kewajiban sebagai anak boru. Anak boru harus menghormati (somba) moranya.
Dengan begitu seseorang harus senantiasa memposisikan dirinya secara konkrit dari partuturon itu. Adab paling mendasar dalam relasi mora, kahanggi dan anak boru adalah Falsafah Kemasyarakatan Batak tolu apantunon, yaitu somba marmora, elek maranak boru dan manta-manat markahanggi.